Organisasi Artis
Oleh: Firman Bintang
Orang bilang sejak tahun 2000an film nasional telah bangkit. Banyak film yang telah menghasilkan 1 juta penonton bahkan ada yang mencapai 6 juta penonton lebih. Produksi film Indonesia per tahun lebih dari 100 judul.
Cuma yang jarang diketahui masyarakat luas, dari 100 judul lebih film nasional yang masuk ke bioskop, cuma 10 persen yg meraup untung, 30 persen BEP, sisanya nyungsep sampe benjut-benjut dan “patah iga”.
Ada pula yang selesai produksi langsung masuk kuburan karena tidak mendapat layar atau sekedar merasakan AC bioskop lantaran hanya dapat belasan layar atau cuma sehitungan jari. Pemilik modal yang semula menggelontorkan uangnya dengan penuh harap sambil membayangkan keuntungan — demi melihat euphoria berlebihan dari segelintir orang film dan instansi pemerintah yang mengurus perfilman — akhirnya nangis Bombay, lantaran modalnya ambles.
Sayangnya dari sebagian yang sukses itu juga tidak meneteskan rejeki bagi sebagian besar manusia yang merasa dirinya sebagai insan film, entah aktor, karyawan atau kreator.
Itu semua adalah cerita beberapa bulan lalu, sebelum covid19 atau coronavirus (bukan Rick Dari Corona) melanda seantero dunia, juga di Indonesia dengan jumlah kasusnya yang terus bertambah.
Tidak seperti olahraga yang punya batasan tertentu bagi pelakunya, di film tidak ada kata pensiun. Biar sudah ohir kalau masih ada cerita yang cocok, masih ada tempat.
Tetapi siapa yang masih bisa eksis? Itu pun cuma beberapa gelintir, dan hanya jadi pelengkap penderita. Karena film sebagai tontonan — kata survey sebagaian besar penonton film adalah anak-anak muda — wajah-wajah segar yang ingin dilihat penonton. Padahal masih ada ratusan bahkan ribu kali ye..yang masih merasa sebagai aktor atau karyawan film, walaupun udah pada keriput dan kurang sedep dipandang. Karena tempat yang tersedia terbatas, terpaksa yang lain lebih banyak nganggur.
Darimana bisa tahu jumlahnya bisa mencapai angka 4 digit? Itu bisa dilihat dari keterlibatan mereka di organisasi. Utamanya organisasi keartisan.
Kalo jaman dulu kita cuma tahu hanya ada satu organisasi artis, PARFI. Sekarang banyak banget. PARFI aja seperti amuba, membelah diri menjadi tiga. Ada Parfi 56 pimpinan Marcella Zalanty, ada Parfi versi DPO Pimpinan Alicia Johar, ada Parfi versi DPP yang dipimpin Pemegang mandat Pelaksana Ketua UMUM DPP Parfi Soultan Saladin.
Lalu ada yang namanya Perkumpulan Artis Film Indonesia (PAFINDO) yang dipimpin oleh HM Bagiono, ada Rumah Aktor Indonesia (RAI).pimpinan Lukman Sardi, ada artis periklanan (lali rek jenenge!).
Dan jangan lupa ada yang namanya PARSI (Persatuan Artis Sinema Indonesia) dengan ketuanya — sopo maning — kalau bukan Anwar Fuadi. Dulu kepanjangannya Persatuan Artis Sinetron Indonesia. Untuk melanggengkan jabatannya sebagai Ketua Umum, penyandang gelar Doktor dari Universitas Hasanuddin itu mengubah kepanjangan nama organisasinya. Di organisasi perfilman memang kalau sudah duduk lupa berdiri.
Mohon jangan ditanya, apa aja kegiatan organisasi keartisan itu. Please!
Masih belum cukup dengan organisasi yang ada, masih ada yang mau bikin lagi organisasi artis lain. Lalu darimana anggotanya? Benar-benar artis atau bukan? Masih eksis atau tidak? Ya ora jelas juga. Biasanya orang yang itu-itu juga muter kayak kemidi.
Di luar organisasi keartisan, tidak sedikit pula yang bergabung di organisasi karyawan film, organisasi produser, bioskop atau organisasi pengusaha layar tancap.
Seperti slogan pada patung yang ada di taman tengah kantor Kominfo, para artis juga nampaknya punya slogan yang sama:
Anantakupa (Api nan tak kunjung padam). Walau kekurangan minyak atau sudah sangat redup, yang penting masih ada apinya. Sayangnya api yang cuma bisa dilihat di malam buta itu hanya digunakan untuk berkutat di organisasi, bukan berkreasi. Kata seorang teman sambil berbisik, “Kalau punya organisasi ngurus pembagian sembako gampang, bro!”
Boleh dibilang, kreativitasnya insan film kebanyakan hanya berorganisasi bukan menghasilkan karya yang bisa dinikmati.
Lalu apa yang terjadi setelah berorganisasi? Ribut lagi karena perbedaan prinsip, kemudian melahirkan organisasi baru. Begitu aja terus sampe kontrak di dunia berakhir.
*Firman Bintang adalah Produser, sekaligus kritikus film.
Ketua PPFI 2015 – 2018.