Keinginan para artis untuk membentuk organisasi profesi sudah ada sejak tahun 1940, saat dibentuk SARI (Sarikat Artist Indonesia). Mereka yang menjadi anggota SARI adalah pemain sandiwara, penari, sutradara, penyanyi hingga pelukis.
1951
Embrio PARFI
Pada tahun 1951, lahir Persafi (Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia). Ini adalah wadah lanjutan dari SARI, meski selanjutnya terjadi pula kemandulan, sebelum kemudian lahirlah PARFI pada tahun 1956. Kongres Pertama embrio Parfi diadakan di Manggarai pada tahun 1953.
1956
Berdirinya PARFI
Menindak lanjuti kongres I di Manggarai 1953, pada Maret 1956 dalam kongres kedua yang diadakan oleh para pemain dan pekerja film, didirikanlah Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).
Tokoh sentral pendiri pada saat itu adalah Usmar Ismail, Suryo Sumanto dan Djamaludin Malik.
2020
Kongres Ke-XVI
Pada tanggal 10 Maret 2020 lalu, bertempat di Hotel Maharaja Jakarta Selatan dengan dihadiri oleh 360 peserta termasuk perwakilan dari daerah menetapkan Alicia Djohar sebagai Ketua Umum PB PARFI setelah menang suara atas Ayu Azhari dan Lela Anngraini. Alicia Djohar memperoleh 119 suara disusul Lela Anggraini 83 suara. Sementara Ayu Azhari mundur dari pencalonan. Selanjutnya, ditunjuklah Gusti Randa sebagai Sekretaris Umum PARFI, 2020.
“Semua Terekam Tak Pernah Mati.”
The Upstairs – 2006
H. Usmar Ismail
Djamaludin Malik
Suryo Sumanto
Mengenang Waktu
Sejak 1956
Usmar Ismail, Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto adalah tiga orang tokoh kunci berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).
Usmar Ismail, berbekal keilmuannya, Djamaludin Malik dengan segala kepiawaian ilmu bisnisnya, dan Suryo Sumanto seorang jurnalis sekaligus sastrawan yang semangat untuk memandu dua rekannya, bersama-sama mereka mendorong kemajuan artis dan perfilman tanah air, dengan mendirikan PARFI.
Lahirnya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) berawal dari kevakuman kegiatan Sarikat Artis Indonesia (SARI) akibat masuknya Jepang ke Indonesia.
Seiring dengan perjalanan waktu dan menjadi saksi sejarah, pada 10 Maret 1956
PARFI didirikan di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di Jalan, Kramat V Jakarta Pusat, Ketua Umum PARFI Suryo Sumanto, dengan anggota :
Rd. Sukarno (Rendra Karno)
Kotot Sukardi
Basuki Effendi
Wildan Dja’far
Sofia Waldy
Deliana Surawidjaja
Idrus Nawawi (Palembang)
Eddy Saputra (Medan)
Basuki Zailani (Bandung)
Ismail Saleh (Semarang)
Abdul Gafur (Surabaya)
Subekto (Yogya)
PARFI lahir melalui semangat untuk menyumbangkan dharma bakti guna mewujudkan cita-cita memajukan Bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara formal PARFI diresmikan oleh Ibu Negara Fatmawati Soekarno pada 10 Maret 1956. PARFI adalah satu-satunya organisasi yang menjadi pilihan bagi Artis film Indonesia untuk memperjuangkan cita-cita seperti harapan yang disampaikan H. Usmar Ismail: “Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada revolusi Indonesia.”
Saat itu, PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia.
Sebagai organisasi, PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu, dan penyaluran daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pen- gabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khu- susnya mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film nasional.
Sebagai pekerja seni bidang keartisan film, keberadaan PARFI dikukuhkan oleh pemerintah sebagai Organisasi Profesi dengan kekuatan Rekomendasi. Selain mengutamakan cita-cita guna mencukupi kebutuhan ekonomi, artis film perlu memperoleh kepuasan batin dari hasil kerjanya dan dijamin hak-hak keprofesiannya yang dilindungioleh Undang Undang.
Melihat sejarah perjalanan PARFI, Insan Film terbukti telah memiliki rasa kebersamaan yang kuat dan itu bisa tercipta karena memiliki perasaan senasib dan rela meninggalkan kepentingan lain di luar kepentingan Film dan Insannya. Namun, dalam perjalanannya selama 50 tahun ini, ternyata masih banyak tujuan PARFI sebagai organisasi, yang belum bisa diwujudkan.
Dalam buku kecil memperingati 3 (tiga) windu atau 24 tahun berdirinya PARFI (1956-1980), disebutkan bahwa PARFI bukan partai politik dan tidak ikut berpolitik. Tetapi dalam perjalanannya, Organisasi Artis Film ini sempat terlibat dan melibatkan sejumlah anggotanya dalam politik. Hal itu terjadi ketika Kongres III PARFI dilaksanakan pada 1964. Sejumlah anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka meninggalkan persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan harapan dari sekitar 300 anggota PARFI.
Marlon Brando – Fatmawati Soekarno – Usmar Ismail
Usai Kongres PARFI ke III, Trio pengurus PARFI waktu itu, yakni Suryo Sumanto, Djoko Lelono dan Chaidir Dja’far, berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik saat itu.
Sejak berdiri hingga masa kepengurusan Periode ke III, Suryo Sumanto menjabat sebagai Ketua Umum PARFI. Pada masa itu, kepengurusan Suryo Sumanto merupakan tonggak bagi PARFI dalam memperjuangkan dan mempertinggi derajat serta martabat kesenian melalui Film Nasional.
Organisasi PARFI tidak hanya didukung oleh peseni-peran (aktor/aktris), melainkan juga oleh mereka yang bergerak di bagian produksi, seperti sutradara, produser, penata fotografi, editor dan kru (karyawan) sesuai dengan namanya “Artis Film” / “Film Artist” (Seniman Film).
Namun, setelah para kru (karyawan) membentuk organisasinya sendiri, yakni KFT (Karyawan Film dan Televisi) pada 22 Maret 1964, maka PARFI sepenuhnya hanya beranggotakan para aArtis Film dari kalangan aktor dan aktris Film (Pemeran).
Pada 1971, ketika Suryo Sumanto meninggal dunia, jabatan Ketua Umum PARFI di lanjutkan oleh Wahyu Sihombing sebagai pejabat sementara. Setahun kemudian, terpilihlah Sofia WD sebagai Ketua Umum PARFI Periode ke IV, dengan jumlah anggota yang terus bertambah, seiring kegiatan produksi yang mulai ramai. Hal itu terjadi sampai dengan kepengurusan Soedewo (1975–1977).
Pada era 1970-an, film Indonesia memulai masa keemasannya, berkat diterbitkannya SK Bersama No. 71 oleh Menteri Penerangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri, yang mewajibkan para importir film untuk memproduksi Film Nasional, dan setiap produksi film harus mendapatkan rekomendasi dari PARFI.
Rekomendasi menjadikan eksistensi PARFI sangat penting dan mutlak, sekaligus menjadi sumber pemasukan tetap bagi kelangsungan jalannya roda organisasi. Karena setiap orang yang akan terlibat sebagai pemain dalam produksi film, harus sepengetahuan dan memperoleh rekomendasi dari PARFI. Hal itu berlangsung sampai periode kepengurusan Soekarno M. Noor (1978-1983).
Pada kepengurusan Ratno Timoer (1984–1992) Produksi Film Nasional mulai menurun, seiring keluarnya SK Menteri Penerangan tentang dicabutnya izin produksi dan rekomendasi dari Organisasi Perfilman.
Situasi intern organisasi pada masa keemasan tersebut, hubungan pengurus organisasi dengan ang- gotanya cukup harmonis, karena banyak produksi film yang meli- batkan anggotanya. Begitu juga hubungan dengan organisasi perfilman lainnya dan dengan pemerintah, bahkan dengan partai politik.
Pada masa Orde Baru, Organisasi Perfilman menjadi mitra salah satu partai politik yang berkuasa saat itu, sehingga secara otomatis setiap Organisasi dapat terwakilkan menjadi anggota DPR/ MPR.
Organisasi PARFI mulai mengalami penurunan dari peranannyasebagai organisasi Artis Film antara lain akibat dicabutnya SK Izin Produksi oleh Departemen Penerangan dan munculnya konflik internal antara Pengurus PARFI.
Kekuatan PARFI sebagai sebuah organisasi mulai melemah, dan secara perlahan tapi pasti menjadi redup. Penyebabnya, sejak rekomendasi dicabut, syarat keanggotaan PARFI tidak lagi mutlak bagi setiap orang yang ingin bermain film, sehingga sumber pemasukan tetap bagi oganisasi pun hilang. Masa ini adalah masa di mana siapa saja bisa menjadi apa saja tanpa aturan apapun.
Dalam upaya mengangkat kembali pamor PARFI, kemudian diadakan terobosan baru dengan terselenggaranya Kongres PARFI ke XIII yang dibuka resmi oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan dihadiri Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Pemuda dan Olah Raga Adyaksa Dault, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, serta Insan Perfilman dan anggota/perwakilan PARFI dari 23 cabang di seluruh Indonesia.
Kongres PARFI ke XIII tersebut kemudian memilih dan menetapkan Jenny Rachman sebagai Ketua Umum PARFI Periode 2006-2010.
Dalam sambutannya saat membuka Kongres PARFI XIII/2006, Presiden antara lain mengatakan: ”Tahun 2006 telah saya canangkan sebagai tahun kebudayaan. Salah satu bagian dari kebudayaan itu adalah Film Indonesia. Film Indonesia dapat menjadi media untuk mempertinggi derajat dan martabat seni dan budaya bangsa kita. Film Indonesia sesungguhnya dapat menjadi bagian dari pilar kebudayaan, menumbuhkan ruang dialog yang kreatif dan memelihara kemajemukan budaya bangsa. Film, jangan hanya dijadikan tontonan penghibur saja, tetapi jadikanlah film sebagai sebuah karya cipta seni budaya yang dapat menampilkan kehidupan sosial, karakter budaya, dari komunitas masyarakat kita”. Pada kesempatan itu, Presiden juga mengatakan, ia ingin menjadi bagian dari kebangkitan Film Indonesia.
Kongres PARFI ke XIII /2006 memilih dan menetapkan Jenny Rachman sebagai Ketua Umum PARFI untuk masa bhakti empat tahun, menggantikan kepengurusan sebelumnya (1998-2002) dengan Ketua Umum Sys NS dan periode 2002-2006 dengan Ketua Umum Eva Roosdiana Dewi.
Pada masa kejayaan Jenny Rachman, tanpa disadari PARFI tersusupi oleh orang-orang yang tidak dikenal dan dari berbagai macam kelompok. Hal ini yang membuat Jenny Rachman walk out dari arena kongres 2010. Tampil sebagai pemenang menggantikan Jenny Rachman adalah AA Gatot Brajamusti. Sosok dan figur yang flamboyan, pengusaha sekaligus guru spiritual para artis.
AA Gatot melaju mulus dalam kongres 2010 dengan enteng melawan Ki Kusumo dan Soultan Saladin. Namun dalam perjalananannya, kepengurusan AA Gatot Brajamusti adalah kepengurusan yang paling kacau dan berantakan. Banyak orang dari kelompok muda-mudi kemudian mulai mengkritisi kebijakan yang dilakukan oleh AA Gatot Brajamusti. PB PARFI berubah menjadi DPP PARFI hingga dianggap bukan lagi sebagai organisasi profesi namun sebagai organisasi kemasyarakatan.
Sehingga puncaknya, ketika PARFI tercoreng namanya pada tahun 2016, sebuah kejadian yang mewarnai Kongres XV di Mataram NTB, AA Gatot harus berusuran dengan hukum.
Mereka yang kecewa kemudian mendirikan organisasi baru bernama PARFI 56. Maka dikenalah dualisme PARFI menjadi PB PARFI di Kuningan dengan PARFI 56 yang entah ada di mana sekretariat pusatanya.
Tidak berhenti sampai di situ, sepeninggal AA Gatot, PARFI menjadi kisruh dengan perebutan kekuasaan. Terjadilah kubu-kubu yang seharusnya tidak perlu, sehingga mengakibatkan kekecewaan kepada anggota PARFI pada waktu itu.
Bahkan pada saat itu sampai ada yang mengaku-ngaku mendapatkan mandat dari Aa Gatot Brajamusti bahwa dia adalah orang yang paling berhak dan diamanahi untuk mengurus PARFI yang sudah semakin berantakan.
Lima hari usai Kongres XV di Mataram NTB, pasca Gatot Brajamusti (Ketua Umum terpilih kongres XV ditangkap), serta merta secara sepihak, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO), Aspar Paturusi, melantik Andryega da Silva, menjadi Ketua Umum PARFI 2016-2021.
Baru tiga bulan berjalan Andryega da Silva, dipecat dengan tidak hormat oleh DPO. Lalu menunjuk aktris Wieke Widowati sebagai penggantinya.
Satu bulan kemudian Wieke Widowati diberhentikan sepihak. Kemudian DPO membentuk panitia Kongres Luar Biasa (KLB), serta secara aklamasi menunjuk Febrian Aditya (Ketua KFT) menjadi Ketua Umum PARFI.
Febrian Aditya selanjutnya membentuk pengurus dihampir tiap daerah, hingga PARFI memiliki pengurusan ganda. Pada 1 Agustus 2019, Febrian Aditya membuat kesepakatan dengan aktor senior, Soultan Saladin sebagai Pejabat Ketua Umum PARFI, pengganti Gatot Brajamusti untuk kembali pada PARFI hasil Kongres NTB.
Tapi beberapa hari setelah kesepakatan itu, Febrian Aditya dipecat dengan tidak hormat oleh DPO. Lalu DPO menunjuk Piet Pagau sebagai Ketua Umum PARFI. Namun satu hari usai dilantik Piet Pagau mundur bersama perangkatnya.
Kekacauan di tubuh PB PARFI berlangsung cukup lama, sampai akhirnya pada tahun 2020 dari inisiasi para anggota dijalankanlah Kongres Luar Biasa yang Dipercepat untuk menyelamatkan PARFI kedepan.
Maka pada tanggal 10 Maret 2020 terpilihlah Alicia Djohar melalui Kongres Luar Biasa yang Dipercepat tersebut.
Langkah ini ditempuh sebagai jawaban dan terobosan akibat tidak diakuinya kepengurusan siapapun setelah Jenny Rachman oleh pemerintah dan tidak pernah terbit SK. Kemenkumham di kepengurusan siapapun setelah masa kejayaan Jenny Rachman.
Barulah pada periode PB PARFI kepengurusan 2020 – 2025 dibawah kepemimpinan Alicia Djohar dan Gusti Randa, SH., MH. ini, dengan berupaya sekuat tenaga mengangkat KETERPURUKAN PARFI bagai mengangkat batang terendam dari kubangan lumpur, akhirnya pemerintah Republik Indonesia turun tangan dan memberikan pengakuan bahwa PARFI yang sah secara organisasi dan secara hukum perundangan yang berlaku di Republik Indonesia, yang mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai sebuah perkumpulan yang bergerak dibidang profesi; adalah kepengurusan yang dipimpin oleh Alicia Djohar sebagai Ketua umum, Gusti Randa, SH., MH. sebagai Sekretaris Umum dan Pong Hardjatmo selaku Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi yang bertugas secara legal sebagai pengawas PARFI.
Jenny Rachman sendiri beserta para jajarannya menyambut gembira dengan lahirnya PB PARFI dibawah kepemimpinan Alicia Djohar dan Gusti Randa.
Hal ini ditandai dengan Serah Terima Akta PARFI dari Kepengurusan Jenny Rachman kepada Alicia Djohar dengan disaksikan berbagai pihak.
Maka dengan terjadinya Kongres yang Dipercepat tahun 2020 ini, serta diserahkannya Akta PARFI secara resmi, dan didukung oleh mayoritas Anggota PARFI, kini saatnya kepengurusan baru ini mulai melakukan langkah-langkah pembenahan dan restrukturisasi organisasi, kembali ke Khittah Perjuangan para pendirinya.
PB PARFI 2020 – 2025 bertekad untuk menyatukan semua kekuatan yang ada baik dari kalangan tua maupun muda, agar PARFI bertransformasi menjadi organisasi profesi bidang artis film yang modern, maju, berkibar kembali dan mengayomi para anggotanya.
Era Kebangkitan Setelah Terpuruk
Setelah hampir 10 tahun lebih PARFI mengalami gonjang-ganjing kepengurusannya, kini pada tahun 2020 PARFI telah melakukan Kongres Yang Dipercepat pada Maret 2020. Maka terpilihlah pemimpin baru yaitu Ibu Alicia Djohar dengan semangat yang baru.
Hasil Kongres tahun 2020 itu menetapkan bahwa Alicia Djohar sebagai Ketua Umum dengan Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO)-nya adalah Pong Hardjatmo.
Maka saat inilah dimulai era pembaharuan menuju PARFI yang modern, dan kemabali ke KHITTAH perjuangan PARFI yang sesungguhnya, yaitu mengembalikan Marwah PARFI sebagai Pengayom ARTIS FILM seluruhnya, dengan melibatkan tenaga-tenaga baru yang mengikuti perubahan zaman.
Maka di kepengurusan Alicia Djohar ini, banyak orang-orang baru yang mendedikasikan dirinya untuk perkembangan organisasi, diamabil dari orang-orang terbaik yang profesional, berprofesi bukan sebagai aktor/aktris semata, tapi mereka juga orang yang paham dunia film, dan mau mendedikasikan dirinya untuk kemajuan film yang berorientasi pada kepentingan insan film.
Bahkan, pada akhirnya Gusti Randa, SH., MH. kemudian ditarik kembali ke PARFI (Kuningan) dari sebelumnya di PARFI 56 pimpinan Marcella Zalianty. Gusti sangat tertantang untuk memajukan PARFI ini, yang mana PARFI ini adalah sebuah warisan dan harapan para pendirinya dahulu (Usmar Ismail, Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto).
Komposisi Ketua – Sekretaris – Bendahara (KSB) pada PARFI 2020 – 2025 ini adalah kombinasi yang tepat. Alicia Djohar sebagai Ketua Umum dan Gusti Randa, SH., MH. tampil piawai menjadi panglima di organisasi artis film ini sebagai Sekretaris Umum, dengan Evie Singh selaku Bendahara Umum yang juga sangat jeli mengatur cashflow PARFI secara akuntabel, sehingga tidak ada celah untuk orang-orang yang sekedar memanfaatkan organisasi untuk kepentingan kelompoknya.
Sementara pada second-layers terdapat orang-orang yang mumpuni di bidangnya yaitu Paramitha Rusady selaku Wakil Ketua Umum, Syam L. Fin selaku Wakil Sekretaris Umum dan Yetty Lorent dengan jaringannya sebagai Wakil Bendahara Umum.
Pada periode PB PARFI 2020 – 2025 inilah banyak dilakukan terobosan-terobosan positif seperti mengakomodir perkembangan dunia Millenial, serta menyesuaikan diri dengan hadirnya MEDIA BARU (YouTube, OTT, Bioskop Digital Online, dll.). Sampai pada akhirnya PB PARFI kembali diakui oleh negara dengan terbitnya SK. MENKUMHAM NO. AHU-0000933.AH.01.08.TAHUN 2020 yang diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona Laoly pada tahun 2020 ini.
Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 7 sd. 10 Maret 2021 mendatang, PB PARFI akan segera melaksanakan kegiatan berupa Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) untuk pertama kalinya dalam sejarah PARFI. Namun sebelum ke arah sana, saat ini PARFI sedang merencanakan untuk Pelantikan Pengurus PB PARFI 2020 – 2025 yang akan dilaksanakan di gedung Tri Brata, Jakarta Selatan; serta melaksanakan Rapat Pleno di Desember 2020 ini.
Mengenang Pahlawan Film Indonesia
Judul: Mengheningkan Cipta
Karya: T. Prawit
Vokal & Aransemen: Gita Gutawa
Lagu pada video ini digunakan untuk tujuan non komersial.
Alicia Djohar yang sering dipanggil Itje (lahir di Bogor, Jawa Barat, 18 Februari 1954; umur 66 tahun) adalah seorang pemeran Indonesia dan mantan Ratu Bogor pada tahun 1972. Ia pernah menjadi pemeran utama dalam film Gadis Kampus bersama aktor Widy Santoso dan Junaedi Salat.
Setelah lulus SMA, selama dua tahun (1974-1975) ia mengikuti berbagai kursus di Singapura. Setelah itu pada tahun 1976 ia melanjutkan pendidikan-nya di bidang kecantikan di London.
Semasa di SMA, ia pernah meraih predikat Ratu Kebaya Bogor (1971) dan Ratu Bogor (1972). Ia memasuki dunia film pada tahun 1972, ketika itu ikut bermain sebagai figuran di film Perkawinan yang disutradarai Wim Umboh. Pada akhir 1975, untuk kedua kalinya mendapat tawaran main film dari Turino Djunaidy sebagai pemeran pembantu dalam Ganasnya Nafsu (1976). Pada 1978 dipercaya sebagai pemeran utama dalam film Dukun Kota, produksi PT Japos Film.
Belakangan, Alicia Djohar juga ikut aktif dalam produksi sinetron, bukan saja sebagai pemain tetapi juga berstatus koordinator, seperti dalam sinetron serial Losmen (1985-1987) produksi TVRI, dan beberapa sinetron lainnya. Selain itu ia mendukung sinetron serial Karmila (1997) sebanyak 26 episode produksi Avicom Production.
Di kalangan sesama artis film, ia dikenal sebagai aktivis PARFI. Pada kepengurusan PB PARFI periode 1990-1992 menjabat Bendahara, dan pada periode berikutnya (1993-1997) dipercaya sebagai Ketua III. Pada periode 2001 – 2004 ia menjabat kembali sebagai bendahara di Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
Di bidang bisnis dikenal sebagai Presiden Direktur PT Djohar Mandiri Jaya yang bergerak memproduksi sinetron (antara lain sinetron seri/6 episode Biarkan Kami Bersatu), videoklip dan rekaman lagu.
Aktris yang masih tampak muda ini mempunyai tiga orang anak yaitu Adito, jessica dan Nandito.
2010 - 2016
Gatot Brajamusti
Gatot Brajamusti atau sering disapa sebagai Aa Gatot (lahir di Sukabumi, Jawa Barat Indonesia, 29 Agustus 1962; umur 58 tahun) adalah seorang aktor dan penyanyi berkebangsaan Indonesia.
Gatot menikah dengan Dewi Aminah yang merupakan istri ketiganya pada 13 Agustus 1995. Pernikahan mereka dikaruniai tiga anak, yakni Suci Patiah, Nuendo, dan Alfa. Sebelumnya, Gatot pernah menikah dua kali. Istri pertamanya bernama Dedeh Haryati dan dikaruniai tiga anak. Istri keduanya bernama Mimin dan dikaruniai anak perempuan bernama Sarah Fitaloka.
Setelah tamat dari SMA tahun 1979, ia sempat melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tidak sampai selesai. Setahun kemudian, gatot memilih untuk kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, mengambil matematika selama tiga tahun, dan mendapat gelar sarjana.
Gatot Brajamusti wafat di bulan November 2020 karena komplikasi penyakit yang dideritanya.
2006 - 2010
Yenny Rachman
Yenny Rachman (lahir 18 Januari 1959; umur 61 tahun) adalah seorang pemeran Indonesia. Wanita berdarah Aceh dan Tionghoa-Madura ini mengawali kariernya sebagai bintang iklan, model foto, dan peragawati sejak usia 14 tahun. Film awal debutnya Ita Si Anak Pungut (1973) arahan Frank Rorimpandey dan debut memerani peran utama lewat film Rahasia Gadis (1975). Keseriusannya dalam film telah ditunjukkan dengan diraihnya 2 Piala Citra melalui Kabut Sutra Ungu (1979) arahan sutradara Sjumandjaja dalam FFI 1980 dan Gadis Marathon (1981) arahan Chaerul Umam pada FFI 1982.
Yenny yang pada akhir tahun 70-an dikenal sebagai salah satu bintang dari The Big Five (selain Roy Marten, Doris Callebaute, Yati Octavia dan Rano Karno) juga dinilai sebagai aktris yang lengkap. Dia bisa menjadi magnet layar yang menghasilkan box office bagi film-filmnya, sekaligus memberikan akting yang mampu diapreasiasi kritikus. Oleh karena itu wanita ini diberi gelar “The Queen of Indonesian Cinema” oleh kalangan industri film Indonesia.
Meski tidak lagi aktif bermain film, Yenny tetap aktif di dunia keartisan. Melalui kongres PARFI 2006, Yenny terpilih sebagai ketua umum organisasi aktor dan aktris film Indonesia untuk periode 2006-2010, mengantikan Eva Rosdiana Dewi.
Yenny pernah menikah dengan Budi Prakoso (adik Setiawan Djodi). Setelah itu, Yenny menikah dengan Niti Yudowahyo, blesteran Indonesia-Australia. Sayang pernikahan ini berakhir pada 11 Desember 2007. Tak lama menjanda, pada tanggal 18 April 2008, Yenny resmi disunting oleh Supradjarto, salah seorang direksi Bank BRI. Dalam pernikahan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin bertindak sebagai wali hakim mempelai putri, sedangkan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto menjadi saksi pernikahan. Saat ini Yenny tengah mempersiapkan kembalinya ke film Indonesia dengan menjadi produser film yang mengambil tema tentang Kartini.
2000 - 2006
Eva Rosdiana Dewi
Eva Rosdiana Dewi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15 Januari 1953; umur 67 tahun) adalah seorang aktris berkebangsaan Indonesia, dan merupakan mantan ketua umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) periode 1998-2002 dan terpilih kembali di periode 2002-2006.
1998 - 2002
Sys NS.
Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 18 Juli 1956 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 23 Januari 2018 pada umur 61 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sys NS adalah salah satu aktor dan sutradara Indonesia dan juga salah satu pendiri Partai Demokrat. Sejak tahun 2007 Sys keluar dari Partai Demokrat.
Meski lahir di Semarang, orang tua Sys sebenarnya tinggal di Jakarta. Tapi sang bunda yang sedang mengandungnya tujuh bulan sengaja pulang ke rumah ibunya (nenek Sys) di Semarang untuk melahirkannya. Ini merupakan kebiasaan ibunya, Siti Suciati, untuk melahirkan semua anaknya (termasuk saudara-saudara Sys) di Semarang. Saat Sys duduk di bangku SMU, orang tuanya yang pindah ke Semarang. Namun Sys memilih tetap tinggal di Jakarta meneruskan sekolahnya.
Sejak berpisah dari orang tuanya, dia pun sekolah sambil mencari uang sendiri sebagai disc jockey. Ketika masih mahasiswa, dia pernah ingin meraih tiga hal sekaligus; kuliah di IKJ, bergaul dengan sesama artis dan mahasiswa, dan mencari uang sebagai disc jockey. Setelah mencoba dilakoni, hal itu tak gampang. Sys kemudian memilih meninggalkan bangku kuliah. Ketika menggeluti disc jockey, Sys pernah memperoleh penghargaan sebagai The Best of Disc Jockey of Indonesia pada tahun 1975.
Setelah tidak kuliah lagi, hampir semua profesi pernah dia lakukan khususnya yang berhubungan dengan dunia seni hiburan. Jadi penulis skenario, sutradara, pemain film bahkan humor seperti ‘Sersan Prambors’ dia pernah ikuti. Di Sersan Prambors, Sys bergabung bersama Muklis Gumilang, Pepeng, Krisna Purwana, dan Nana Krip.
Berbagai keberhasilan Sys di lingkungan pekerjaan diikuti juga dengan keberhasilannya di bidang organisasi. Hingga tahun 1976 Sys dipercaya menjadi Ketua Kasta (Kekerabatan Antar Siswa se Jakarta) Prambors, kemudian menjadi Ketua Laboratorium Seni Prambors. Dia pernah menjadi Ketua Gabungan Artis Nusantara, pernah Ketua Umum PB PARFI periode 1998 – 2002, dan lain sebagainya.
Sys juga aktif dalam dunia politik. Sys menjadi Anggota Badan Pekerja (PAH II) MPR-RI, periode 1999-2000 dan Anggota MPR-RI, Utusan Golongan, periode 1999-2004. Pada tahun 2001, Sys menjadi salah satu pendiri Partai Demokrat. Pada tahun 2005, Sys mendeklarasikan dirinya sebagai kandidat Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan sebagai langkah awal untuk kampanye, Sys meluncurkan sebuah buku biografi berjudul Sys NS: Yesterday, Today, & Tomorrow pada tanggal 15 Mei 2005. Di penghujung tahun 2005, Sys menyatakan mundur dari Partai Demokrat karena merasa sudah tidak lagi sejalan dengan misi dan visinya.
Sys menikah dengan Shanty Widhiyanti, SE, putri dari Drs. Syaiful Hamid. Walaupun usia keduanya terpaut jauh yakni sekitar 13,5 tahun namun itu bukan jadi penghalang cinta mereka. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai 3 orang anak, Syanindita Trasysty, Sabdayagra Ahessa, dan Sadhenna Sayanda.
Sys NS meninggal dunia pada tanggal 23 Januari 2018 di Jakarta akibat penyakit jantung. Dia dimakamkan di TPU Jeruk Purut.
1983 - 1998
Ratno Timoer
Ahmad Suratno (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Maret 1942 – meninggal di Jakarta, 22 Desember 2002 pada umur 60 tahun) adalah seorang produser, sutradara, dan aktor film Indonesia yang terkenal dari akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1980-an. Aktor yang dikenal luas dengan nama Ratno Timoer ini semakin dikenal luas setelah beberapa kali memerankan tokoh pendekar Barda Mandrawata alias “Si Buta Dari Gua Hantu” yang diangkat dari komik terkenal karya Ganes TH. Ia juga adalah Ketua Umum Parfi pada periode tahun 1983-1988.
Penghargaan istimewa: Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) di Bandung pada tahun 1976 lewat film Cinta. Aktor Terpopuler di Asia dalam Festival Film Asia Pasifik di Seoul, Korea Selatan pada tahun 1973 lewat film Pendekar Bambu Kuning.
Soekarno M. Noer (lahir di Jatinegara, Jakarta, 13 September 1931 – meninggal di Jakarta , 26 Juli 1986 pada umur 54 tahun) yang bernama lain Soekarno M. Noor adalah seorang aktor asal Indonesia.
Soekarno M. Noer lahir dari pasangan Mohammad Noer dan Janimah asal Bonjol, Sumatra Barat.[1] Ketika usia dua tahun, dia menjadi anak yatim. Setelah wafatnya ayah, bersama ibu dan adiknya Soekarno pulang kampung ke Bonjol terus berpindah ke Tebing Tinggi, Sumatra Utara.
Dari pernikahannya dengan Lily Istiarti, ia memperoleh enam orang anak yang beberapa di antaranya mengikuti jejaknya sebagai aktor, termasuk Tino Karno, Rano Karno, dan Suti Karno. Selain itu juga diikuti oleh adiknya Ismed M. Noer yang juga menjadi aktor pada tahun 1970an.
Lahir di Boyolali, Jawa Tengah. Pendidikan : tamat SLA. Mayor TNI (Purnawirawan) ini memasuki dunia film tahun 1958 sebagai figuran lewat karya Usmar Ismail alm.”Asrama Dara.”Dalam tahun itu Soedewo terpilih sebagai Ketua BKS – Artis Militer, dan ja-batan ini dipegangnya hingga tahun 1969 Hingga 1975 memegang jabatan sebagai General Manager Bioskop JakartaTheatre. Soedewo yang sejak 1958 tercatat sebagai anggota PARFI terpilih sebagai Ketua 11 untuk periode 1974-1978. Organisasi profesi Parfi ini dalam kongresnya yang ke V di TIM Jakarta memilih Soedewo sebagai Ketua Umum untuk periode 1975-1977. Karirnya sebagai Pemain film tidak begitu menonjol, hingga sekarang baru ikut main dalam 8 judul film cerita, antara lain “Habis Gelap Terbitlah Terang” (1959), “Ratu Ular” (1972), “Cinta” (1975), “Cinta Rahasia” (’76), “Gadis Panggilan” (1976), “Tuan Besar” (1977), dan “Bandot” (1978), kebanyakan sebagai Peran Pembantu.Selain itu, Soedewo menjadi Direktur Utama P.T. Dewa Dewantara Film dan P.T. Sapta Dewa Perdana.
1971 - 1974
Sofia WD.
Sofia W.D. (lahir di Bandung, Jawa Barat, 12 Oktober 1924 – meninggal di Jakarta, 23 Juli 1986 pada umur 61 tahun) yang terlahir dengan nama Sofia dan juga sebelumnya dikenal dengan nama Sofia Waldy adalah aktris Indonesia yang cukup terkenal pada era 1950 sampai 1980-an. Selain sebagai aktris ia juga telah menyutradarai beberapa film.
Kehidupan Awal Sofia, atau Sofi, lahir dari keluarga pedagang. Lahir di Bandung dari keluarga Apandi dan Sumirah, Sofia anak kedua dari empat bersaudara. Dalam usia 14 tahun ia menikah pertama kali dengan Eddy Endang, seorang kapten dari kesatuan Siliwangi. Sembilan tahun kemudian yakni tahun 1947, Kapten Eddy gugur dalam menjalankan tugas. Sofia kaya dengan berbagai pengalaman keras selama perjuangan kemerdekaan. Sofi turut mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Ia tergabung dalam kesatuan tentara FP (Field Preparation), berpangkat sersan mayor dan ikut bergerilya di daerah Limbangan di kaki Gunung Haruman, Jawa Barat. Setelah tamat HIS (1935) dan Darul Muta’allimin, ia bekerja pada sebuah perusahaan milik Jepang, seraya bergabung dengan grup sandiwara Irama Massa. Mulanya, Sofia hanya sebagai pembawa pesan perusahaan kepada penonton. Karena nasib baik, ia berhasil menjadi pemeran utama. Ternyata, pengalaman akting inilah yang kelak membawanya ke puncak karier.
Awal Karier Ketika itu perusahaan film Wong Brother berusaha mencari pengganti Miss Rukiah, pujaan pecandu film Indonesia sebelum perang. Mereka menemukan istri S. Waldy, seorang pemain film yang kerap tampil sebagai pelawak. Wanita itu langsing, berwajah manis, tamatan HIS dan sekolah agama Darul Muta’allimin. Tapi yang lebih penting, ia punya pengalaman panggung. Maka jadilah ia melakukan debut dalam film “Airmata Mengalir di Tjitaroem” pada tahun 1948.
Puncak Karier Sejak saat itu, nama Sofia tak bisa lagi dilupakan penggemar film Indonesia, setidak-tidaknya untuk lebih 30 tahun berikutnya. Lahir di Bandung dari keluarga Apandi dan Sumirah, Sofia anak kedua dari empat bersaudara. Dalam usia 14 tahun ia menikah pertama kali dengan Eddy Endang, seorang kapten dari kesatuan Siliwangi. Sembilan tahun kemudian yakni tahun 1947, Kapten Eddy gugur dalam menjalankan tugas. Sofia kaya dengan berbagai pengalaman keras selama perjuangan kemerdekaan.
Membintangi hampir ratusan film Indonesia, Sofia terhitung cerdik. Selain main sebagai bintang, ia juga mempelajari teknik penyutradaraan, kamera dan penataan gambar. Kini ia tak hanya dikenal sebagai pemain, tetapi juga sutradara dan pimpinan produksi. Tahun 1960 ia pertama kali tampil sebagai sutradara dalam film “Badai Selatan”, produksi CV Ibu kota Film.
Sepuluh tahun kemudian berdiri Libra Film dengan produksi film pertamanya “Si Bego dari Muara Condet”. Skenario penyutradaraan dan pimpinan produksi berada di tangannya. Film “Badai Selatan” agaknya membawa ‘badai’ tersendiri dalam hidup Sofia. Di situ ia lebih akrab mengenal W.D Mochtar, seorang aktor asal Kalimantan Barat.
Sofia bercerai dari S. Waldy dan menikah dengan W.D Mochtar. Ternyata pengalaman di dunia film tak kalah serunya dibanding tahun-tahun bergerilya dulu. Ketika memerankan dukun dalam film “Dukun Beranak” tahun 1977, nyaris nyawanya melayang di pagut ular.
Tahun 1974, ia mendirikan PT Dirgahayu Jaya Film, yang terutama membuat film dokumentasi. Film “Melawan Badai” tahun 1974, film “Tanah Harapan” tahun 1976, film “Jangan Menangis Mama” tahun 1977 dan film “Christina” pada tahun 1977 merupakan produksi perusahaan film ini.
Kepenulisan Dengan nama Gantini, sekitar 1950-1958 ia sering menulis cerpen dalam beberapa majalah dan koran. Kini dua dari empat skenarionya telah di filmkan yakni Si Bego dari Muara Condet dan Si Jampang Menumpas Naga Hitam.
Organisasi Film Sofia W.D. aktif dalam Persatuan Artis film Indonesia (PARFI), sempat menjadi Bendahara I (1956-1970) dan Ketua Umum (1971-1974).
Kehidupan Keluarga Setelah menikah selama tujuh tahun dengan Kapten Eddy Endang (1938-1947), Sofia menikah dengan S. Waldy yang kemudian bercerai dan menikah dengan aktor asal Kalimantan Barat, W.D Mochtar (1961). Pernikahan ini berlangsung sampai akhir hayatnya. Ia memiliki tiga anak kandung.
Akhir Hayat Sofia meninggal dunia di Rumah Sakit Cikini, Jakarta pada tanggal 23 Juli 1986 akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan pendarahan di otak. Sebelumnya, Sofia sedang menghadiri acara silaturahmi Lembaga Seni Tari, kemudian pingsan dan dibawa ke rumah sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Film terakhir yang dibintanginya adalah Yang Kukuh dan Yang Runtuh sedangkan film terakhir yang disutradarainya adalah Bermain Drama. Sebagai veteran, ia dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
1956 - 1971
Suryo Sumanto
Suryo Sumanto bukan seorang bintang film, namun justru dia yang mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan memimpin organisasi ini selama beberapa periode sampai akhir hayatnya. Organisasi para artis ini diresmikan oleh Ibu Negara, Fatmawati Soekarno.
Pak Manto, begitu biasa dia dipanggil oleh rekan-rekannya, memang bukan artis, tetapi ia orang yang aktif dalam berorganisasi. Ia bersama dengan H. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mendirikan Persatuan Film Indonesia (Perfini) pada tahun 1950. Kemudian pada 10 Maret 1956 ia mendeklarasikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) di Gedung SBKA, Manggarai, Jakarta Selatan, sedangkan sekretariatnya di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, yang tidak lain adalah rumahnya. Kedua organisasi ini memberi andil dalam membangun perfilman Indonesia.
Dedikasinya di organisasi artis itu dan keterlibatannya dalam meletakkan perfilman nasional membuatnya dijuluki “Bapak Artis Film Indonesia” oleh para insan film. Lahirnya PARFI berawal dari vakumnya kegiatan SARI (Serikat Artis Indonesia) sejak Pemerintah Balatentara Jepang berkuasa di Indonesia. Kongres pertama organisasi tempat para artis film bernaung itu akhirnya memilih Suryo Sumanto sebagai Ketua Umum.
Pak Manto yang pandai bergaul dan berwibawa sekaligus memilki sahabat mulai dari tukang becak sampai Presiden (Soekarno), membuat PARFI sebagai rumah seniman film karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Ia juga berusaha membersihkan organisasi itu dari kegiatan politik seperti menolak ikut campur tangan PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya.
Melalui PARFI Pak Manto juga ikut memperjuangkan nasib film Indonesia dari cengkeraman film impor. Organisasi para artis itu pernah menggelar demonstrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang dinilai dapat merugikan industri perfilman Indonesia, dan mendorong agar para insan film mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film produksi anak negeri.
Penulis Skenario dan Produser Pak Manto yang ikut berjuang saat revolusi kemerdekaan berlangsung dan sempat mendapat pangkat ketentaraan sebagai Kapten, dikenal sebagai penulis skenario yang kuat.Pria yang suka humor itu memenangkan penghargaan Skenario Terbaik lewat film yang ditulisnya “Harimau Tjampa” (1953) pada Festival Film Indonesia pertama tahun 1955. Ia juga pengarang cerita dan penulis skenario film “Putri Dari Medan” (1954), “Mertua Sinting” (1954), “Lagi-lagi Krisis” (1955), dan “Tamu Agung” (1955). Pak Manto juga sempat menjadi produser untuk film “Embun” dan bertindak sebagai Pemimpin Produksi untuk film “Dosa Tak Berampun” (1951) dan “Tamu Agung”.
Soal penulisan skenario, menurut Sakti Sawung Umbaran, anak kedua Sumanto, “Almarhum Pak Misbach Yusa Biran pernah berkata, Pak Sumanto sangat kuat dalam penulisan-penulisan satir-satir dan komedi sosial. Salah satu filmya yang fenomenal, namun tidak terlalu meledak adalah ‘Lagi-lagi Krisis.’ Film ini telah mendapatkan apresiasi luar biasa dari para seniman saat itu. Waktu itu para seniman biasanya nongkrong di Senen, karena itu disebut seniman Senen. ”Suryo yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, adalah putra dari Raden Ngabehi Mangunsuromo, dan salah seorang kakaknya, yaitu SK Trimurti dikenal sebagai tokoh pers nasional dan tokoh politik.
Pada tahun 2015, pemerintah RI menganugerahkan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan kepada Suryo Sumanto sebagai Perintis Perfilman Indonesia. Menanggapi penghargaan tersebut, Sakti yang ditemui di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan, “Dari pihak keluarga, kami patut menyatakan terima kasih sebesar-besarnya. Masih ada perhatian terhadap seniman yang pernah berkarya untuk negara ini.”
Lebih lanjut Sakti mengatakan, bahwa pengalamannya bersama ayahnya tidak banyak. “Beliau meninggal ketika saya masih berusia belasan tahun. Kalau misal ia masih hidup sampai sekarang, dengan sifatnya itu, tentu kami bisa jadi teman. Apa yang saya dapatkan dari bapak adalah keprihatinan dan kemerdekaan sebagai hal yang paling berharga,” katanya.
“Kami dulu tinggal di rumah yang kecil, numpang di rumah seorang komodor yang sudah seperti saudara bagi kami. Tetapi itu tidak menghalangi kinerja bapak. Apakah itu rumah kecil atau besar, ia bekerja, bekerja saja. Ia bergaul, bergaul saja. Rasanya, pengalaman itu yang tidak bisa hilang dari ingatan saya. Keprihatinan dan kemerdekaan itu merupakan harta bernilai yang luar biasa buat saya,” kenang Sakti tentang ayahnya, yang sempat mencapai pangkat kapten saat revolusi kemerdekaan.