PERSATUAN ARTIS FILM INDONESIA

Sejarah
Persatuan Artis Film Indonesia

1940

Sarikat Artist Indonesia (SARI)

Keinginan para artis untuk membentuk organisasi profesi sudah ada sejak tahun 1940, saat dibentuk SARI (Sarikat Artist Indonesia). Mereka yang menjadi anggota SARI adalah pemain sandiwara, penari, sutradara, penyanyi hingga pelukis.

1951

Embrio PARFI

Pada tahun 1951, lahir Persafi (Persatuan Artis Film dan Sandiwara Indonesia). Ini adalah wadah lanjutan dari SARI, meski selanjutnya terjadi pula kemandulan, sebelum kemudian lahirlah PARFI pada tahun 1956. Kongres Pertama embrio Parfi diadakan di Manggarai pada tahun 1953.

1956

Berdirinya PARFI

Menindak lanjuti kongres I di Manggarai 1953, pada Maret 1956 dalam kongres kedua yang diadakan oleh para pemain dan pekerja film,  didirikanlah Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).

Tokoh sentral pendiri pada saat itu adalah Usmar Ismail, Suryo Sumanto  dan Djamaludin Malik.

 

2020

Kongres Ke-XVI

Pada tanggal 10 Maret 2020 lalu, bertempat di Hotel Maharaja Jakarta Selatan dengan dihadiri oleh 360 peserta termasuk perwakilan dari daerah menetapkan Alicia Djohar sebagai Ketua Umum PB PARFI setelah menang  suara atas Ayu Azhari dan Lela Anngraini. Alicia Djohar memperoleh 119 suara disusul Lela Anggraini 83 suara. Sementara Ayu Azhari mundur dari pencalonan. Selanjutnya, ditunjuklah Gusti Randa sebagai Sekretaris Umum PARFI, 2020.

“Semua Terekam Tak Pernah Mati.”

The Upstairs – 2006

H. Usmar Ismail

Djamaludin Malik

Suryo Sumanto

Mengenang Waktu

Sejak 1956

Usmar Ismail, Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto adalah tiga orang tokoh kunci berdirinya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI).

Usmar Ismail, berbekal keilmuannya, Djamaludin Malik dengan segala kepiawaian ilmu bisnisnya, dan Suryo Sumanto seorang jurnalis sekaligus sastrawan yang semangat untuk memandu dua rekannya, bersama-sama mereka mendorong kemajuan artis dan perfilman tanah air, dengan mendirikan PARFI.

Lahirnya Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) berawal dari kevakuman kegiatan Sarikat Artis Indonesia (SARI) akibat masuknya Jepang ke Indonesia.

Seiring dengan perjalanan waktu dan menjadi saksi sejarah,  pada 10 Maret 1956

PARFI didirikan di Gedung SBKA Manggarai, Jakarta dengan sekretariat di Jalan, Kramat V Jakarta Pusat, Ketua Umum PARFI Suryo Sumanto, dengan anggota :

  1. Rd. Sukarno (Rendra Karno)
  2. Kotot Sukardi
  3. Basuki Effendi
  4. Wildan Dja’far
  5. Sofia Waldy
  6. Deliana Surawidjaja
  7. Idrus Nawawi (Palembang)
  8. Eddy Saputra (Medan)
  9. Basuki Zailani (Bandung)
  10. Ismail Saleh (Semarang)
  11. Abdul Gafur (Surabaya)
  12. Subekto (Yogya)

PARFI lahir melalui semangat  untuk menyumbangkan  dharma bakti guna mewujudkan cita-cita memajukan Bangsa dan Negara berdasarkan  Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara formal PARFI diresmikan oleh Ibu Negara Fatmawati Soekarno pada 10 Maret 1956. PARFI adalah satu-satunya organisasi  yang menjadi pilihan bagi Artis film Indonesia untuk memperjuangkan   cita-cita  seperti harapan yang disampaikan  H. Usmar Ismail: “Dengan film kita bisa memberikan sumbangan pada revolusi Indonesia.”

Saat itu,  PARFI bersama PPFI berdemontrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang merugikan produksi film Indonesia.

Sebagai organisasi,  PARFI diharapkan dapat menjadi wadah, alat penghimpun dan pemersatu,  dan penyaluran  daya kreasi serta amal perjuangan Artis Film Indonesia dalam pen- gabdiannya kepada Bangsa dan Negara, khu- susnya mempertinggi derajat  dan martabat kesenian melalui film nasional.

Sebagai pekerja seni bidang keartisan film, keberadaan PARFI dikukuhkan oleh pemerintah  sebagai Organisasi Profesi dengan kekuatan Rekomendasi.  Selain mengutamakan cita-cita guna mencukupi kebutuhan ekonomi, artis film perlu memperoleh kepuasan batin dari hasil kerjanya dan dijamin hak-hak keprofesiannya yang dilindungioleh  Undang Undang.

Melihat sejarah perjalanan PARFI, Insan Film terbukti telah memiliki rasa kebersamaan yang kuat dan itu bisa tercipta karena memiliki perasaan senasib dan rela meninggalkan kepentingan lain di luar kepentingan Film dan Insannya. Namun, dalam perjalanannya selama 50 tahun ini, ternyata masih banyak tujuan PARFI  sebagai organisasi, yang belum bisa diwujudkan.

Dalam buku kecil memperingati 3 (tiga) windu atau 24 tahun berdirinya PARFI (1956-1980), disebutkan bahwa PARFI bukan partai politik dan tidak ikut berpolitik. Tetapi dalam perjalanannya, Organisasi Artis Film ini sempat terlibat dan melibatkan sejumlah anggotanya  dalam  politik.  Hal itu terjadi ketika Kongres III PARFI dilaksanakan pada 1964.  Sejumlah  anggota cenderung mengikuti aksi PAFFIAS yaitu gerakan anti film Amerika. Saat itu, secara demonstratif mereka meninggalkan persidangan. Sehingga, Suryo Sumanto menjadi tumpuan harapan dari sekitar 300 anggota PARFI.

 

Usai Kongres PARFI ke III, Trio pengurus PARFI waktu itu, yakni Suryo Sumanto, Djoko Lelono dan Chaidir Dja’far, berhasil membebaskan PARFI dari cengkeraman kekuatan politik saat itu.

Sejak berdiri hingga masa kepengurusan Periode ke III, Suryo Sumanto menjabat sebagai Ketua Umum PARFI. Pada masa itu, kepengurusan Suryo Sumanto merupakan tonggak bagi PARFI  dalam memperjuangkan dan mempertinggi derajat serta martabat kesenian melalui Film Nasional.

Organisasi  PARFI tidak hanya  didukung oleh peseni-peran (aktor/aktris), melainkan juga oleh mereka yang bergerak di bagian produksi, seperti sutradara, produser, penata fotografi, editor dan kru  (karyawan) sesuai dengan namanya “Artis Film” / “Film Artist” (Seniman Film).

Namun, setelah para kru (karyawan) membentuk organisasinya sendiri, yakni KFT  (Karyawan  Film  dan Televisi) pada 22 Maret 1964, maka PARFI sepenuhnya hanya beranggotakan  para aArtis Film dari kalangan aktor dan aktris Film (Pemeran).

Pada 1971,  ketika Suryo Sumanto meninggal dunia, jabatan Ketua Umum PARFI  di lanjutkan oleh Wahyu Sihombing sebagai pejabat sementara.  Setahun  kemudian, terpilihlah Sofia WD sebagai Ketua Umum PARFI Periode ke IV, dengan jumlah anggota  yang  terus bertambah,  seiring kegiatan produksi  yang mulai ramai. Hal itu terjadi sampai dengan kepengurusan Soedewo (1975–1977).

Pada era 1970-an, film Indonesia memulai masa keemasannya, berkat diterbitkannya SK Bersama No. 71 oleh Menteri Penerangan, Menteri Pendidikan   dan Kebudayaan,  dan Menteri  Dalam Negeri, yang mewajibkan para importir film untuk memproduksi Film Nasional, dan setiap produksi film harus mendapatkan rekomendasi dari PARFI.

Rekomendasi menjadikan eksistensi PARFI sangat penting dan mutlak, sekaligus menjadi sumber pemasukan tetap bagi kelangsungan jalannya roda organisasi. Karena setiap orang yang akan terlibat  sebagai pemain dalam produksi film, harus sepengetahuan dan memperoleh rekomendasi dari PARFI. Hal itu berlangsung sampai periode kepengurusan Soekarno M. Noor (1978-1983).

Pada kepengurusan Ratno Timoer (1984–1992) Produksi Film Nasional mulai menurun, seiring keluarnya SK Menteri Penerangan  tentang  dicabutnya izin produksi dan rekomendasi dari Organisasi Perfilman.

Situasi intern organisasi pada masa keemasan   tersebut, hubungan pengurus organisasi dengan ang- gotanya cukup harmonis,  karena banyak produksi film yang meli- batkan anggotanya. Begitu  juga hubungan dengan    organisasi perfilman lainnya  dan  dengan pemerintah, bahkan dengan partai politik.

Pada masa Orde Baru, Organisasi Perfilman menjadi mitra  salah satu partai politik yang berkuasa saat itu, sehingga secara otomatis setiap Organisasi dapat terwakilkan menjadi anggota DPR/ MPR.

Organisasi PARFI mulai mengalami penurunan dari peranannyasebagai organisasi Artis Film antara lain akibat dicabutnya SK Izin Produksi oleh Departemen Penerangan dan munculnya konflik internal antara Pengurus PARFI.

Kekuatan PARFI sebagai sebuah organisasi mulai melemah, dan secara perlahan tapi pasti menjadi redup. Penyebabnya, sejak rekomendasi dicabut, syarat keanggotaan PARFI tidak lagi mutlak bagi setiap orang yang ingin bermain film, sehingga sumber pemasukan tetap bagi oganisasi pun hilang. Masa ini adalah masa di mana siapa saja bisa menjadi apa saja tanpa aturan apapun.

Dalam upaya mengangkat kembali pamor PARFI, kemudian diadakan terobosan baru dengan terselenggaranya Kongres PARFI ke XIII yang dibuka resmi oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dan dihadiri Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Pemuda dan Olah Raga Adyaksa Dault, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, serta Insan Perfilman dan anggota/perwakilan PARFI dari 23 cabang di seluruh Indonesia.

Kongres PARFI ke XIII tersebut kemudian memilih dan menetapkan Jenny Rachman sebagai Ketua Umum PARFI Periode 2006-2010.

Dalam sambutannya saat membuka Kongres PARFI XIII/2006, Presiden antara lain mengatakan: ”Tahun 2006 telah saya canangkan sebagai tahun kebudayaan. Salah satu bagian dari kebudayaan itu adalah Film Indonesia. Film Indonesia dapat menjadi media untuk mempertinggi derajat dan martabat seni dan budaya bangsa kita. Film Indonesia sesungguhnya dapat menjadi bagian dari pilar kebudayaan, menumbuhkan ruang dialog yang kreatif dan memelihara kemajemukan budaya bangsa. Film, jangan hanya dijadikan tontonan penghibur saja, tetapi jadikanlah film sebagai sebuah karya cipta seni budaya yang dapat menampilkan kehidupan sosial, karakter budaya, dari komunitas masyarakat kita”. Pada kesempatan itu, Presiden juga mengatakan, ia ingin menjadi bagian dari kebangkitan Film Indonesia.

Kongres PARFI ke XIII /2006 memilih dan menetapkan Jenny Rachman sebagai Ketua Umum PARFI untuk masa bhakti empat tahun, menggantikan kepengurusan sebelumnya (1998-2002) dengan Ketua Umum Sys NS dan periode 2002-2006 dengan Ketua Umum Eva Roosdiana Dewi.

Pada masa kejayaan Jenny Rachman, tanpa disadari PARFI tersusupi oleh orang-orang yang tidak dikenal dan dari berbagai macam kelompok. Hal ini yang membuat Jenny Rachman walk out dari arena kongres 2010. Tampil sebagai pemenang menggantikan Jenny Rachman adalah AA Gatot Brajamusti. Sosok dan figur yang flamboyan, pengusaha sekaligus guru spiritual para artis.

AA Gatot melaju mulus dalam kongres 2010 dengan enteng melawan Ki Kusumo dan Soultan Saladin. Namun dalam perjalananannya, kepengurusan AA Gatot Brajamusti adalah kepengurusan yang paling kacau dan berantakan. Banyak orang dari kelompok muda-mudi kemudian mulai mengkritisi kebijakan yang dilakukan oleh AA Gatot Brajamusti. PB PARFI berubah menjadi DPP PARFI hingga dianggap bukan lagi sebagai organisasi profesi namun sebagai organisasi kemasyarakatan.

Sehingga puncaknya, ketika PARFI tercoreng namanya pada tahun 2016, sebuah kejadian yang mewarnai Kongres XV di Mataram NTB, AA Gatot harus berusuran dengan hukum.

Mereka yang kecewa kemudian mendirikan organisasi baru bernama PARFI 56. Maka dikenalah dualisme PARFI menjadi PB PARFI di Kuningan dengan PARFI 56 yang entah ada di mana sekretariat pusatanya.

Tidak berhenti sampai di situ, sepeninggal AA Gatot, PARFI menjadi kisruh dengan perebutan kekuasaan. Terjadilah kubu-kubu yang seharusnya tidak perlu, sehingga mengakibatkan kekecewaan kepada anggota PARFI pada waktu itu.

Bahkan pada saat itu sampai ada yang mengaku-ngaku mendapatkan mandat dari Aa Gatot Brajamusti bahwa dia adalah orang yang paling berhak dan diamanahi untuk mengurus PARFI yang sudah semakin berantakan.

Lima hari usai Kongres XV di Mataram NTB, pasca Gatot Brajamusti (Ketua Umum terpilih kongres XV ditangkap), serta merta secara sepihak, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO), Aspar Paturusi, melantik Andryega da Silva, menjadi Ketua Umum PARFI 2016-2021.

Baru tiga bulan berjalan Andryega da Silva, dipecat dengan tidak hormat oleh DPO. Lalu menunjuk aktris Wieke Widowati sebagai penggantinya.

Satu bulan kemudian Wieke Widowati diberhentikan sepihak. Kemudian DPO membentuk panitia Kongres Luar Biasa (KLB), serta secara aklamasi menunjuk Febrian Aditya (Ketua KFT) menjadi Ketua Umum PARFI.

Febrian Aditya selanjutnya membentuk pengurus dihampir tiap daerah, hingga PARFI memiliki pengurusan ganda. Pada 1 Agustus 2019, Febrian Aditya membuat kesepakatan dengan aktor senior, Soultan Saladin sebagai Pejabat Ketua Umum PARFI, pengganti Gatot Brajamusti untuk kembali pada PARFI hasil Kongres NTB.

Tapi beberapa hari setelah kesepakatan itu, Febrian Aditya dipecat dengan tidak hormat oleh DPO. Lalu DPO menunjuk Piet Pagau sebagai Ketua Umum PARFI. Namun satu hari usai dilantik Piet Pagau mundur bersama perangkatnya.

Kekacauan di tubuh PB PARFI berlangsung cukup lama, sampai akhirnya pada tahun 2020 dari inisiasi para anggota dijalankanlah Kongres Luar Biasa yang Dipercepat untuk menyelamatkan PARFI kedepan.

Maka pada tanggal 10 Maret 2020 terpilihlah Alicia Djohar melalui Kongres Luar Biasa yang Dipercepat tersebut.

Langkah ini ditempuh sebagai jawaban dan terobosan akibat tidak diakuinya kepengurusan siapapun setelah Jenny Rachman oleh pemerintah dan tidak pernah terbit SK. Kemenkumham di kepengurusan siapapun setelah masa kejayaan Jenny Rachman.

Barulah pada periode PB PARFI kepengurusan 2020 – 2025 dibawah kepemimpinan Alicia Djohar dan Gusti Randa, SH., MH. ini, dengan berupaya sekuat tenaga mengangkat KETERPURUKAN PARFI bagai mengangkat batang terendam dari kubangan lumpur, akhirnya pemerintah Republik Indonesia turun tangan dan memberikan pengakuan bahwa PARFI yang sah secara organisasi dan secara hukum perundangan yang berlaku di Republik Indonesia, yang mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai sebuah perkumpulan yang bergerak dibidang profesi; adalah kepengurusan yang dipimpin oleh Alicia Djohar sebagai Ketua umum, Gusti Randa, SH., MH. sebagai Sekretaris Umum dan Pong Hardjatmo selaku Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi yang bertugas secara legal sebagai pengawas PARFI.

Jenny Rachman sendiri beserta para jajarannya menyambut gembira dengan lahirnya PB PARFI dibawah kepemimpinan Alicia Djohar dan Gusti Randa.

Hal ini ditandai dengan Serah Terima Akta PARFI dari Kepengurusan Jenny Rachman kepada Alicia Djohar dengan disaksikan berbagai pihak.

Maka dengan terjadinya Kongres yang Dipercepat tahun 2020 ini, serta diserahkannya Akta PARFI secara resmi, dan didukung oleh mayoritas Anggota PARFI, kini saatnya kepengurusan baru ini mulai melakukan langkah-langkah pembenahan dan restrukturisasi organisasi, kembali ke Khittah Perjuangan para pendirinya.

PB PARFI 2020 – 2025 bertekad untuk menyatukan semua kekuatan yang ada baik dari kalangan tua maupun muda, agar PARFI bertransformasi menjadi organisasi profesi bidang artis film yang modern, maju, berkibar kembali dan mengayomi para anggotanya. 

Era Kebangkitan Setelah Terpuruk

Setelah hampir 10 tahun lebih PARFI mengalami gonjang-ganjing kepengurusannya, kini pada tahun 2020 PARFI telah melakukan Kongres Yang Dipercepat pada Maret 2020. Maka terpilihlah pemimpin baru yaitu Ibu Alicia Djohar dengan semangat yang baru.

Hasil Kongres tahun 2020 itu menetapkan bahwa Alicia Djohar sebagai Ketua Umum dengan Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO)-nya adalah Pong Hardjatmo.

Maka saat inilah dimulai era pembaharuan menuju PARFI yang modern, dan kemabali ke KHITTAH perjuangan PARFI yang sesungguhnya, yaitu mengembalikan Marwah PARFI sebagai Pengayom ARTIS FILM seluruhnya, dengan melibatkan tenaga-tenaga baru yang mengikuti perubahan zaman.

Maka di kepengurusan Alicia Djohar ini, banyak orang-orang baru yang mendedikasikan dirinya untuk perkembangan organisasi, diamabil dari orang-orang terbaik yang profesional, berprofesi bukan sebagai aktor/aktris semata, tapi mereka juga orang yang paham dunia film, dan mau mendedikasikan dirinya untuk kemajuan film yang berorientasi pada kepentingan insan film.

Bahkan, pada akhirnya Gusti Randa, SH., MH. kemudian ditarik kembali ke PARFI (Kuningan) dari sebelumnya di PARFI 56 pimpinan Marcella Zalianty. Gusti sangat tertantang untuk memajukan PARFI ini, yang mana PARFI ini adalah sebuah warisan dan harapan para pendirinya dahulu (Usmar Ismail, Djamaludin Malik dan Suryo Sumanto).

Komposisi Ketua – Sekretaris – Bendahara (KSB) pada PARFI 2020 – 2025 ini adalah kombinasi yang tepat. Alicia Djohar sebagai Ketua Umum dan Gusti Randa, SH., MH. tampil piawai menjadi panglima di organisasi artis film ini sebagai Sekretaris Umum, dengan Evie Singh selaku Bendahara Umum yang juga sangat jeli mengatur cashflow PARFI secara akuntabel, sehingga tidak ada celah untuk orang-orang yang sekedar memanfaatkan organisasi untuk kepentingan kelompoknya.

Sementara pada second-layers terdapat orang-orang yang mumpuni di bidangnya yaitu Paramitha Rusady selaku Wakil Ketua Umum, Syam L. Fin selaku Wakil Sekretaris Umum dan Yetty Lorent dengan jaringannya sebagai Wakil Bendahara Umum.

Pada periode PB PARFI 2020 – 2025 inilah banyak dilakukan terobosan-terobosan positif seperti mengakomodir perkembangan dunia Millenial, serta menyesuaikan diri dengan hadirnya MEDIA BARU (YouTube, OTT, Bioskop Digital Online, dll.). Sampai pada akhirnya PB PARFI kembali diakui oleh negara dengan terbitnya SK. MENKUMHAM NO. AHU-0000933.AH.01.08.TAHUN 2020 yang diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasona Laoly pada tahun 2020 ini.

Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 7 sd. 10 Maret 2021 mendatang, PB PARFI akan segera melaksanakan kegiatan berupa Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) untuk pertama kalinya dalam sejarah PARFI. Namun sebelum ke arah sana, saat ini PARFI sedang merencanakan untuk Pelantikan Pengurus PB PARFI 2020 – 2025 yang akan dilaksanakan di gedung Tri Brata, Jakarta Selatan; serta melaksanakan Rapat Pleno di Desember 2020 ini.

Mengenang Pahlawan Film Indonesia

Judul:
Mengheningkan Cipta

Karya:
T. Prawit

Vokal & Aransemen:
Gita Gutawa

Lagu pada video ini digunakan untuk tujuan non komersial.

Hak kembali kepada pencipta lagu (T. Prawit) dan ahli warisanya serta pengaransemen lagu (Gita Gutawa) – © GUT Records 2017.   

Ketua PARFI Dari Masa Ke Masa