2020 - 2025
Alicia Djohar
Alicia Djohar yang sering dipanggil Itje (lahir di Bogor, Jawa Barat, 18 Februari 1954; umur 66 tahun) adalah seorang pemeran Indonesia dan mantan Ratu Bogor pada tahun 1972. Ia pernah menjadi pemeran utama dalam film Gadis Kampus bersama aktor Widy Santoso dan Junaedi Salat.
Setelah lulus SMA, selama dua tahun (1974-1975) ia mengikuti berbagai kursus di Singapura. Setelah itu pada tahun 1976 ia melanjutkan pendidikan-nya di bidang kecantikan di London.
Semasa di SMA, ia pernah meraih predikat Ratu Kebaya Bogor (1971) dan Ratu Bogor (1972). Ia memasuki dunia film pada tahun 1972, ketika itu ikut bermain sebagai figuran di film Perkawinan yang disutradarai Wim Umboh. Pada akhir 1975, untuk kedua kalinya mendapat tawaran main film dari Turino Djunaidy sebagai pemeran pembantu dalam Ganasnya Nafsu (1976). Pada 1978 dipercaya sebagai pemeran utama dalam film Dukun Kota, produksi PT Japos Film.
Belakangan, Alicia Djohar juga ikut aktif dalam produksi sinetron, bukan saja sebagai pemain tetapi juga berstatus koordinator, seperti dalam sinetron serial Losmen (1985-1987) produksi TVRI, dan beberapa sinetron lainnya. Selain itu ia mendukung sinetron serial Karmila (1997) sebanyak 26 episode produksi Avicom Production.
Di kalangan sesama artis film, ia dikenal sebagai aktivis PARFI. Pada kepengurusan PB PARFI periode 1990-1992 menjabat Bendahara, dan pada periode berikutnya (1993-1997) dipercaya sebagai Ketua III. Pada periode 2001 – 2004 ia menjabat kembali sebagai bendahara di Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI).
Di bidang bisnis dikenal sebagai Presiden Direktur PT Djohar Mandiri Jaya yang bergerak memproduksi sinetron (antara lain sinetron seri/6 episode Biarkan Kami Bersatu), videoklip dan rekaman lagu.
Aktris yang masih tampak muda ini mempunyai tiga orang anak yaitu Adito, jessica dan Nandito.
2010 - 2016
Gatot Brajamusti
Gatot Brajamusti atau sering disapa sebagai Aa Gatot (lahir di Sukabumi, Jawa Barat Indonesia, 29 Agustus 1962; umur 58 tahun) adalah seorang aktor dan penyanyi berkebangsaan Indonesia.
Gatot menikah dengan Dewi Aminah yang merupakan istri ketiganya pada 13 Agustus 1995. Pernikahan mereka dikaruniai tiga anak, yakni Suci Patiah, Nuendo, dan Alfa. Sebelumnya, Gatot pernah menikah dua kali. Istri pertamanya bernama Dedeh Haryati dan dikaruniai tiga anak. Istri keduanya bernama Mimin dan dikaruniai anak perempuan bernama Sarah Fitaloka.
Setelah tamat dari SMA tahun 1979, ia sempat melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tidak sampai selesai. Setahun kemudian, gatot memilih untuk kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, mengambil matematika selama tiga tahun, dan mendapat gelar sarjana.
Gatot Brajamusti wafat di bulan November 2020 karena komplikasi penyakit yang dideritanya.
2006 - 2010
Yenny Rachman
Yenny Rachman (lahir 18 Januari 1959; umur 61 tahun) adalah seorang pemeran Indonesia. Wanita berdarah Aceh dan Tionghoa-Madura ini mengawali kariernya sebagai bintang iklan, model foto, dan peragawati sejak usia 14 tahun. Film awal debutnya Ita Si Anak Pungut (1973) arahan Frank Rorimpandey dan debut memerani peran utama lewat film Rahasia Gadis (1975). Keseriusannya dalam film telah ditunjukkan dengan diraihnya 2 Piala Citra melalui Kabut Sutra Ungu (1979) arahan sutradara Sjumandjaja dalam FFI 1980 dan Gadis Marathon (1981) arahan Chaerul Umam pada FFI 1982.
Yenny yang pada akhir tahun 70-an dikenal sebagai salah satu bintang dari The Big Five (selain Roy Marten, Doris Callebaute, Yati Octavia dan Rano Karno) juga dinilai sebagai aktris yang lengkap. Dia bisa menjadi magnet layar yang menghasilkan box office bagi film-filmnya, sekaligus memberikan akting yang mampu diapreasiasi kritikus. Oleh karena itu wanita ini diberi gelar “The Queen of Indonesian Cinema” oleh kalangan industri film Indonesia.
Meski tidak lagi aktif bermain film, Yenny tetap aktif di dunia keartisan. Melalui kongres PARFI 2006, Yenny terpilih sebagai ketua umum organisasi aktor dan aktris film Indonesia untuk periode 2006-2010, mengantikan Eva Rosdiana Dewi.
Yenny pernah menikah dengan Budi Prakoso (adik Setiawan Djodi). Setelah itu, Yenny menikah dengan Niti Yudowahyo, blesteran Indonesia-Australia. Sayang pernikahan ini berakhir pada 11 Desember 2007. Tak lama menjanda, pada tanggal 18 April 2008, Yenny resmi disunting oleh Supradjarto, salah seorang direksi Bank BRI. Dalam pernikahan itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin bertindak sebagai wali hakim mempelai putri, sedangkan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto menjadi saksi pernikahan. Saat ini Yenny tengah mempersiapkan kembalinya ke film Indonesia dengan menjadi produser film yang mengambil tema tentang Kartini.
2000 - 2006
Eva Rosdiana Dewi
Eva Rosdiana Dewi (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 15 Januari 1953; umur 67 tahun) adalah seorang aktris berkebangsaan Indonesia, dan merupakan mantan ketua umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) periode 1998-2002 dan terpilih kembali di periode 2002-2006.
1998 - 2002
Sys NS.
Raden Mas Haryo Heroe Syswanto Ns. Soerio Soebagio (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 18 Juli 1956 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 23 Januari 2018 pada umur 61 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sys NS adalah salah satu aktor dan sutradara Indonesia dan juga salah satu pendiri Partai Demokrat. Sejak tahun 2007 Sys keluar dari Partai Demokrat.
Meski lahir di Semarang, orang tua Sys sebenarnya tinggal di Jakarta. Tapi sang bunda yang sedang mengandungnya tujuh bulan sengaja pulang ke rumah ibunya (nenek Sys) di Semarang untuk melahirkannya. Ini merupakan kebiasaan ibunya, Siti Suciati, untuk melahirkan semua anaknya (termasuk saudara-saudara Sys) di Semarang. Saat Sys duduk di bangku SMU, orang tuanya yang pindah ke Semarang. Namun Sys memilih tetap tinggal di Jakarta meneruskan sekolahnya.
Sejak berpisah dari orang tuanya, dia pun sekolah sambil mencari uang sendiri sebagai disc jockey. Ketika masih mahasiswa, dia pernah ingin meraih tiga hal sekaligus; kuliah di IKJ, bergaul dengan sesama artis dan mahasiswa, dan mencari uang sebagai disc jockey. Setelah mencoba dilakoni, hal itu tak gampang. Sys kemudian memilih meninggalkan bangku kuliah. Ketika menggeluti disc jockey, Sys pernah memperoleh penghargaan sebagai The Best of Disc Jockey of Indonesia pada tahun 1975.
Setelah tidak kuliah lagi, hampir semua profesi pernah dia lakukan khususnya yang berhubungan dengan dunia seni hiburan. Jadi penulis skenario, sutradara, pemain film bahkan humor seperti ‘Sersan Prambors’ dia pernah ikuti. Di Sersan Prambors, Sys bergabung bersama Muklis Gumilang, Pepeng, Krisna Purwana, dan Nana Krip.
Berbagai keberhasilan Sys di lingkungan pekerjaan diikuti juga dengan keberhasilannya di bidang organisasi. Hingga tahun 1976 Sys dipercaya menjadi Ketua Kasta (Kekerabatan Antar Siswa se Jakarta) Prambors, kemudian menjadi Ketua Laboratorium Seni Prambors. Dia pernah menjadi Ketua Gabungan Artis Nusantara, pernah Ketua Umum PB PARFI periode 1998 – 2002, dan lain sebagainya.
Sys juga aktif dalam dunia politik. Sys menjadi Anggota Badan Pekerja (PAH II) MPR-RI, periode 1999-2000 dan Anggota MPR-RI, Utusan Golongan, periode 1999-2004. Pada tahun 2001, Sys menjadi salah satu pendiri Partai Demokrat. Pada tahun 2005, Sys mendeklarasikan dirinya sebagai kandidat Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan sebagai langkah awal untuk kampanye, Sys meluncurkan sebuah buku biografi berjudul Sys NS: Yesterday, Today, & Tomorrow pada tanggal 15 Mei 2005. Di penghujung tahun 2005, Sys menyatakan mundur dari Partai Demokrat karena merasa sudah tidak lagi sejalan dengan misi dan visinya.
Sys menikah dengan Shanty Widhiyanti, SE, putri dari Drs. Syaiful Hamid. Walaupun usia keduanya terpaut jauh yakni sekitar 13,5 tahun namun itu bukan jadi penghalang cinta mereka. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai 3 orang anak, Syanindita Trasysty, Sabdayagra Ahessa, dan Sadhenna Sayanda.
Sys NS meninggal dunia pada tanggal 23 Januari 2018 di Jakarta akibat penyakit jantung. Dia dimakamkan di TPU Jeruk Purut.
1983 - 1998
Ratno Timoer
Ahmad Suratno (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Maret 1942 – meninggal di Jakarta, 22 Desember 2002 pada umur 60 tahun) adalah seorang produser, sutradara, dan aktor film Indonesia yang terkenal dari akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1980-an. Aktor yang dikenal luas dengan nama Ratno Timoer ini semakin dikenal luas setelah beberapa kali memerankan tokoh pendekar Barda Mandrawata alias “Si Buta Dari Gua Hantu” yang diangkat dari komik terkenal karya Ganes TH. Ia juga adalah Ketua Umum Parfi pada periode tahun 1983-1988.
Penghargaan istimewa:
Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) di Bandung pada tahun 1976 lewat film Cinta.
Aktor Terpopuler di Asia dalam Festival Film Asia Pasifik di Seoul, Korea Selatan pada tahun 1973 lewat film Pendekar Bambu Kuning.
Filmografi:
1978 - 1983
Soekarno M. Noer
Soekarno M. Noer (lahir di Jatinegara, Jakarta, 13 September 1931 – meninggal di Jakarta , 26 Juli 1986 pada umur 54 tahun) yang bernama lain Soekarno M. Noor adalah seorang aktor asal Indonesia.
Soekarno M. Noer lahir dari pasangan Mohammad Noer dan Janimah asal Bonjol, Sumatra Barat.[1] Ketika usia dua tahun, dia menjadi anak yatim. Setelah wafatnya ayah, bersama ibu dan adiknya Soekarno pulang kampung ke Bonjol terus berpindah ke Tebing Tinggi, Sumatra Utara.
Selama kariernya ia telah membintangi lebih dari 68 judul film sebagai pemeran utama, sekitar 30 judul film sebagai pemeran figuran, dan 20 judul drama. Pria Minangkabau ini tiga kali terpilih sebagai Aktor Terbaik dalam Festival Film Indonesia (Piala Citra), masing-masing dalam film Anakku Sajang (1960), Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1967), dan Kemelut Hidup (1979).
Dari pernikahannya dengan Lily Istiarti, ia memperoleh enam orang anak yang beberapa di antaranya mengikuti jejaknya sebagai aktor, termasuk Tino Karno, Rano Karno, dan Suti Karno. Selain itu juga diikuti oleh adiknya Ismed M. Noer yang juga menjadi aktor pada tahun 1970an.
Organisasi:
- Aktif di Lesbumi yang merupakan organisasi kebudayaan Nahdhatul Ulama.
- Ketua I PB Parfi (1978-1981)
- Ketua Umum PB Parfi, dua periode (1981-1983)
1974 - 1978
R. Soedewo
Lahir di Boyolali, Jawa Tengah. Pendidikan : tamat SLA. Mayor TNI (Purnawirawan) ini memasuki dunia film tahun 1958 sebagai figuran lewat karya Usmar Ismail alm.”Asrama Dara.”Dalam tahun itu Soedewo terpilih sebagai Ketua BKS – Artis Militer, dan ja-batan ini dipegangnya hingga tahun 1969 Hingga 1975 memegang jabatan sebagai General Manager Bioskop JakartaTheatre. Soedewo yang sejak 1958 tercatat sebagai anggota PARFI terpilih sebagai Ketua 11 untuk periode 1974-1978. Organisasi profesi Parfi ini dalam kongresnya yang ke V di TIM Jakarta memilih Soedewo sebagai Ketua Umum untuk periode 1975-1977. Karirnya sebagai Pemain film tidak begitu menonjol, hingga sekarang baru ikut main dalam 8 judul film cerita, antara lain “Habis Gelap Terbitlah Terang” (1959), “Ratu Ular” (1972), “Cinta” (1975), “Cinta Rahasia” (’76), “Gadis Panggilan” (1976), “Tuan Besar” (1977), dan “Bandot” (1978), kebanyakan sebagai Peran Pembantu.Selain itu, Soedewo menjadi Direktur Utama P.T. Dewa Dewantara Film dan P.T. Sapta Dewa Perdana.
1971 - 1974
Sofia WD.
Sofia W.D. (lahir di Bandung, Jawa Barat, 12 Oktober 1924 – meninggal di Jakarta, 23 Juli 1986 pada umur 61 tahun) yang terlahir dengan nama Sofia dan juga sebelumnya dikenal dengan nama Sofia Waldy adalah aktris Indonesia yang cukup terkenal pada era 1950 sampai 1980-an. Selain sebagai aktris ia juga telah menyutradarai beberapa film.
Kehidupan Awal
Sofia, atau Sofi, lahir dari keluarga pedagang. Lahir di Bandung dari keluarga Apandi dan Sumirah, Sofia anak kedua dari empat bersaudara. Dalam usia 14 tahun ia menikah pertama kali dengan Eddy Endang, seorang kapten dari kesatuan Siliwangi. Sembilan tahun kemudian yakni tahun 1947, Kapten Eddy gugur dalam menjalankan tugas. Sofia kaya dengan berbagai pengalaman keras selama perjuangan kemerdekaan. Sofi turut mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan. Ia tergabung dalam kesatuan tentara FP (Field Preparation), berpangkat sersan mayor dan ikut bergerilya di daerah Limbangan di kaki Gunung Haruman, Jawa Barat. Setelah tamat HIS (1935) dan Darul Muta’allimin, ia bekerja pada sebuah perusahaan milik Jepang, seraya bergabung dengan grup sandiwara Irama Massa. Mulanya, Sofia hanya sebagai pembawa pesan perusahaan kepada penonton. Karena nasib baik, ia berhasil menjadi pemeran utama. Ternyata, pengalaman akting inilah yang kelak membawanya ke puncak karier.
Awal Karier
Ketika itu perusahaan film Wong Brother berusaha mencari pengganti Miss Rukiah, pujaan pecandu film Indonesia sebelum perang. Mereka menemukan istri S. Waldy, seorang pemain film yang kerap tampil sebagai pelawak. Wanita itu langsing, berwajah manis, tamatan HIS dan sekolah agama Darul Muta’allimin. Tapi yang lebih penting, ia punya pengalaman panggung. Maka jadilah ia melakukan debut dalam film “Airmata Mengalir di Tjitaroem” pada tahun 1948.
Puncak Karier
Sejak saat itu, nama Sofia tak bisa lagi dilupakan penggemar film Indonesia, setidak-tidaknya untuk lebih 30 tahun berikutnya. Lahir di Bandung dari keluarga Apandi dan Sumirah, Sofia anak kedua dari empat bersaudara. Dalam usia 14 tahun ia menikah pertama kali dengan Eddy Endang, seorang kapten dari kesatuan Siliwangi. Sembilan tahun kemudian yakni tahun 1947, Kapten Eddy gugur dalam menjalankan tugas. Sofia kaya dengan berbagai pengalaman keras selama perjuangan kemerdekaan.
Membintangi hampir ratusan film Indonesia, Sofia terhitung cerdik. Selain main sebagai bintang, ia juga mempelajari teknik penyutradaraan, kamera dan penataan gambar. Kini ia tak hanya dikenal sebagai pemain, tetapi juga sutradara dan pimpinan produksi. Tahun 1960 ia pertama kali tampil sebagai sutradara dalam film “Badai Selatan”, produksi CV Ibu kota Film.
Sepuluh tahun kemudian berdiri Libra Film dengan produksi film pertamanya “Si Bego dari Muara Condet”. Skenario penyutradaraan dan pimpinan produksi berada di tangannya. Film “Badai Selatan” agaknya membawa ‘badai’ tersendiri dalam hidup Sofia. Di situ ia lebih akrab mengenal W.D Mochtar, seorang aktor asal Kalimantan Barat.
Sofia bercerai dari S. Waldy dan menikah dengan W.D Mochtar. Ternyata pengalaman di dunia film tak kalah serunya dibanding tahun-tahun bergerilya dulu. Ketika memerankan dukun dalam film “Dukun Beranak” tahun 1977, nyaris nyawanya melayang di pagut ular.
Tahun 1974, ia mendirikan PT Dirgahayu Jaya Film, yang terutama membuat film dokumentasi. Film “Melawan Badai” tahun 1974, film “Tanah Harapan” tahun 1976, film “Jangan Menangis Mama” tahun 1977 dan film “Christina” pada tahun 1977 merupakan produksi perusahaan film ini.
Kepenulisan
Dengan nama Gantini, sekitar 1950-1958 ia sering menulis cerpen dalam beberapa majalah dan koran. Kini dua dari empat skenarionya telah di filmkan yakni Si Bego dari Muara Condet dan Si Jampang Menumpas Naga Hitam.
Organisasi Film
Sofia W.D. aktif dalam Persatuan Artis film Indonesia (PARFI), sempat menjadi Bendahara I (1956-1970) dan Ketua Umum (1971-1974).
Kehidupan Keluarga
Setelah menikah selama tujuh tahun dengan Kapten Eddy Endang (1938-1947), Sofia menikah dengan S. Waldy yang kemudian bercerai dan menikah dengan aktor asal Kalimantan Barat, W.D Mochtar (1961). Pernikahan ini berlangsung sampai akhir hayatnya. Ia memiliki tiga anak kandung.
Akhir Hayat
Sofia meninggal dunia di Rumah Sakit Cikini, Jakarta pada tanggal 23 Juli 1986 akibat tekanan darah tinggi yang menyebabkan pendarahan di otak. Sebelumnya, Sofia sedang menghadiri acara silaturahmi Lembaga Seni Tari, kemudian pingsan dan dibawa ke rumah sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Film terakhir yang dibintanginya adalah Yang Kukuh dan Yang Runtuh sedangkan film terakhir yang disutradarainya adalah Bermain Drama. Sebagai veteran, ia dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
1956 - 1971
Suryo Sumanto
Suryo Sumanto bukan seorang bintang film, namun justru dia yang mendirikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) dan memimpin organisasi ini selama beberapa periode sampai akhir hayatnya. Organisasi para artis ini diresmikan oleh Ibu Negara, Fatmawati Soekarno.
Pak Manto, begitu biasa dia dipanggil oleh rekan-rekannya, memang bukan artis, tetapi ia orang yang aktif dalam berorganisasi. Ia bersama dengan H. Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mendirikan Persatuan Film Indonesia (Perfini) pada tahun 1950. Kemudian pada 10 Maret 1956 ia mendeklarasikan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) di Gedung SBKA, Manggarai, Jakarta Selatan, sedangkan sekretariatnya di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, yang tidak lain adalah rumahnya. Kedua organisasi ini memberi andil dalam membangun perfilman Indonesia.
Dedikasinya di organisasi artis itu dan keterlibatannya dalam meletakkan perfilman nasional membuatnya dijuluki “Bapak Artis Film Indonesia” oleh para insan film. Lahirnya PARFI berawal dari vakumnya kegiatan SARI (Serikat Artis Indonesia) sejak Pemerintah Balatentara Jepang berkuasa di Indonesia. Kongres pertama organisasi tempat para artis film bernaung itu akhirnya memilih Suryo Sumanto sebagai Ketua Umum.
Pak Manto yang pandai bergaul dan berwibawa sekaligus memilki sahabat mulai dari tukang becak sampai Presiden (Soekarno), membuat PARFI sebagai rumah seniman film karena adanya perasaan senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Ia juga berusaha membersihkan organisasi itu dari kegiatan politik seperti menolak ikut campur tangan PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya.
Melalui PARFI Pak Manto juga ikut memperjuangkan nasib film Indonesia dari cengkeraman film impor. Organisasi para artis itu pernah menggelar demonstrasi di depan Presiden Soekarno untuk mengatasi serbuan film asing yang dinilai dapat merugikan industri perfilman Indonesia, dan mendorong agar para insan film mempertinggi derajat dan martabat kesenian melalui film produksi anak negeri.
Penulis Skenario dan Produser
Pak Manto yang ikut berjuang saat revolusi kemerdekaan berlangsung dan sempat mendapat pangkat ketentaraan sebagai Kapten, dikenal sebagai penulis skenario yang kuat.Pria yang suka humor itu memenangkan penghargaan Skenario Terbaik lewat film yang ditulisnya “Harimau Tjampa” (1953) pada Festival Film Indonesia pertama tahun 1955. Ia juga pengarang cerita dan penulis skenario film “Putri Dari Medan” (1954), “Mertua Sinting” (1954), “Lagi-lagi Krisis” (1955), dan “Tamu Agung” (1955). Pak Manto juga sempat menjadi produser untuk film “Embun” dan bertindak sebagai Pemimpin Produksi untuk film “Dosa Tak Berampun” (1951) dan “Tamu Agung”.
Soal penulisan skenario, menurut Sakti Sawung Umbaran, anak kedua Sumanto, “Almarhum Pak Misbach Yusa Biran pernah berkata, Pak Sumanto sangat kuat dalam penulisan-penulisan satir-satir dan komedi sosial. Salah satu filmya yang fenomenal, namun tidak terlalu meledak adalah ‘Lagi-lagi Krisis.’ Film ini telah mendapatkan apresiasi luar biasa dari para seniman saat itu. Waktu itu para seniman biasanya nongkrong di Senen, karena itu disebut seniman Senen. ”Suryo yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, adalah putra dari Raden Ngabehi Mangunsuromo, dan salah seorang kakaknya, yaitu SK Trimurti dikenal sebagai tokoh pers nasional dan tokoh politik.
Pada tahun 2015, pemerintah RI menganugerahkan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan kepada Suryo Sumanto sebagai Perintis Perfilman Indonesia. Menanggapi penghargaan tersebut, Sakti yang ditemui di rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan, “Dari pihak keluarga, kami patut menyatakan terima kasih sebesar-besarnya. Masih ada perhatian terhadap seniman yang pernah berkarya untuk negara ini.”
Lebih lanjut Sakti mengatakan, bahwa pengalamannya bersama ayahnya tidak banyak. “Beliau meninggal ketika saya masih berusia belasan tahun. Kalau misal ia masih hidup sampai sekarang, dengan sifatnya itu, tentu kami bisa jadi teman. Apa yang saya dapatkan dari bapak adalah keprihatinan dan kemerdekaan sebagai hal yang paling berharga,” katanya.
“Kami dulu tinggal di rumah yang kecil, numpang di rumah seorang komodor yang sudah seperti saudara bagi kami. Tetapi itu tidak menghalangi kinerja bapak. Apakah itu rumah kecil atau besar, ia bekerja, bekerja saja. Ia bergaul, bergaul saja. Rasanya, pengalaman itu yang tidak bisa hilang dari ingatan saya. Keprihatinan dan kemerdekaan itu merupakan harta bernilai yang luar biasa buat saya,” kenang Sakti tentang ayahnya, yang sempat mencapai pangkat kapten saat revolusi kemerdekaan.